Jumat, 26 September 2008

Cerpen (Tresno Jalaran Sakakulino)

Tresno Jalaran Sakakulino
Oleh : Wawan Sumarwan

Siang itu, udara begitu panas karena memang sedang musim kemarau. Ruangan yang penuh sesak dengan para mahasiswa baru yang kelihatan kebingungan karena sedang mencari ruangan kelasnya masing-masing di gedung yang baru mereka masuki, suara yang bergemuruh bising dengan obrolan-obrolan yang tak jelas temanya menambah situasi semakin berantakan. Iwan berada diantara mereka. Iwan seorang mahasisa baru yang berasal dari kota yang tidak biasa dengan hawa udara yang seperti ini terlihat kegerahan dan lusuh, rambut pendeknya berantakan tak karuan arah sisiran, mukanya terlihat payah dan lusuh menunjukan tidak senang dengan keadaan disekitarnya, ditambah lagi bagian punggung dan ketiak bajunya yang basah karena keringat yang mengucur keluar dari tubuhnya.
Jam sudah menunjukan pukul delapan lewat sepuluh menit. Sedangkan menurut jadwal yang ia dapat perkuliahan perdananya dimulai pada jam delapan pas. ”Wah sudah telat sepuluh menit nih” bisiknya sendiri. Iwan terlihat kebingungan, berjalan agak cepat di tengah kegaduhan dan sesaknya ruangan tengah yang banyak terlihat hilir mudik para mahasiswa keluar masuk dari ruangan-ruangan kelas dan yang hanya sekedar lewat saja. Ia berjalan sambil mencari ruangn kelas 1-3-4 tempat belajarnya, yang menurut bagian informasi adalah kelas bagi mahasiswa baru jurusan Bahasa. ”1-3-4 itu lantai 3 mas” jawab seorang laki-laki yang dia tanya.
Iwan memang belum punya kenalan atau teman, karena ia daftar ke universitas ini berawal dari ketidak sengajaannya ketika lewat hendak pulang setelah berkunjung ke saudaranya. Ia tidak sengaja melihat papan nama bertuliskan sebuah universitas yang kebetulan terdapat jurusan yang sedang ia cari dan kebetulan, konon kata salah seorang teman lamanya yang enam tahun lalu pernah kuliah di sini mengatakan bahwa biayanya lumbayan murah.
Iwan naik sampai ke lantai 3, coba mencari ruangan kelas yang ia tuju. ”Maaf Ba, ruangan 1-3-4 mana ya?” tanyanya. ”.... Saya juga ini lagi nyari ruangan itu Mas” Jawab seorang perempuan yang berbaju motif bunga-bunga berwarna hijau muda dan berkulit putih. Kemudian ia menyambungkan ”Mas mahasiswa baru ya?”. Iwan mengangguk meng-iyakan perkiraan perempuan itu. ”Sama mas. Kita satu ruangan, kita cari aja bareng-bareng” Ajak perempuan itu. Tanpa basa-basi dan ragu-ragu Iwan berjalan beriringan. Setelah melewati beberapa ruangan kelas, mereka akhirnya menemukan kelas yang mereka cari. Walaupun kelas sudah dimulai dan sangat penuh sesak, mereka memaksa masuk, sampai mereka duduk di kursi yang tepat berada di mulut pintu. ”Ini adalah kelas baruku, dia adalah teman pertamaku diantara calon teman-taman baruku ini” Fikir Iwan dalam hatinya.

- - - - - - - - - -

Setelah dua kali perkulaiahan barulah Iwan kenal dengan teman perempuan yang kemarin berbaju motif bunga itu, namanya Mia Dianita Purnama. Kemana-mana Iwan berada, disaat menunggu dosen masuk, saat istirahat, dan saat di kantin, Mia selalu bersamanya. Mereka terlihat sangat akrab. Sampai teman dikelasnya mengira kalau mereka sudah saling kenal sebelumnya.
Beberapa hari setelah perkuliahan, satu-persatu teman-teman di kelasnya, ia kenal. Diantara mereka ada yang bernama Dani Ahmadi, Prasetyo Danuwiryo, Hani Puji Lestari, Bambang Sudarmanto dan seorang perempuan yang berbaju ping, Rita Indriyani Fitri namanya atau nama panggilannya Ita. Awal perkenalan dengan teman-temannya biasa saja, begitu juga dengan Ita perempuan muda berbaju ping, berwajah opal, dan berkulit putih, dengan santun kata tuturnya.
Pada hari-hari berikutnya Iwan selalu bertiga dengan temannya Mia, dan Ita. Satu lagi teman akrabnya bertambah. ”Tiga serangkai” begitu teman-temen di kelas menyebutnya, mereka lama-kelamaan semakin akrab, mereka duduk di kelas berjejer berdekatan, dan kemana-mana selalu bersama-sama. Terlebih lagi dengan Ita yang selalu pulang bareng dengan Iwan, karena searah jalan menuju rumahnya. Apalagi ketika Iwan tidak membawa motor, maka ia akan numpang motornya Ita. Iwan akan membonceng Ita sampai ke stasiun terdekat, karena dia akan meneruskan perjalanan pulangnya dengan kereta, kemudian memberikan kembali kendali sepedah motor kepada Ita, sambil mengucapkan terimakasih dan ucapan selamat jalan serta hati-hati pada Ita.






Tresno jalaran sakakulino. Semakin sering mereka bertemu, ternyata mulai timbul hal-hal aneh pada kedua insan yang berlainan jenis itu, Iwan dan Ita. Mereka berdua mulai menunjukan hal yang aneh, dan teman-teman disekelilingnya juga mulai melihat gelagat tersebut, sehingga mereka menganggap bahwa mereka berdua tidak hanya berteman tetapi juga lebih dari itu. ”Kemarin guwa lihat Iwan dan Ita pulang boncengan loh. Dan mereka kelihatannya itu cocok banget gitu ...... da apa nih?” celetuk salah seorang temannya, sambil terlihat mempermainkan mereka. Iwan dan Ita hannya terdiam saja tanpa sepatah katapun menanggapi ejekan mereka. Hanya terlihat memerah di wajah putihnya Ita dan Iwan hanya berlalu berjalan keluar kelas. Begitupun Mia terlihat tersenyum mendengarnya.
Keadaan ini terjadi beberapa lama, hubungan Iwan dan Ita juga Mia biasa-biasa saja, walaupun kesan beda antara Iwan dan Ita semakin terlihat. Terlebih lagi beberapa hari yang lalu Ita cerita kepada Iwan dan Mia bahwa ia baru saja putus dengan pacarnya, secara kebetulan hal yang sama juga terjadi pada Iwan. Keadaan seperti ini nampaknya semakin memperlihatkan dan membuka celah Iwan yang lama-kelamaan ternyata juga mulai tumbuh benih-benih suka, sayang atau mungkin cinta yang tak biasa pada Ita. Begitupun pada gelagat Ita mungkin juga sama.
Iwan yang tak mudah atau mungkin kurang bisa untuk mengungkapkan perasaanya itu, menahan dirinya untuk tidak sampai membesar perasaan anehnya sama Ita. Dan Ita perempuan yang pemalu dalam hal ini, juga terlihat menunggu dan tidak mau untuk mengungkapkannya pertama kali ”Apa kata dunia kalau perempuan dulu yang mengungkapkan perasaanya sama cowok, terlebih lagi aku ini..?” Bisik hatinya, mungkin.
Kondisi ini bertahan cukup lama juga. Antara Iwan yang tidak pandai dan Ita yang menjaga genngsinya ini. Membuat perasaan hati mereka belum terungkap juga. Mereka hanya menutupi peresaan mereka dengan tingkah laku dan hubungannya yang wajar dan bisa-biasa saja, seperti tidak ada perasaan hati yang mendesaknya untuk mengungkapkan sesuatu. Terlebih lagi ada Mia diantara mereka.
Semakin lama Iwan menahan perasaanya, semakin terasa berat baginya. Terlebih desakan teman-temannya untuk segara mengungkapkan sesuatu pada Ita, karena menurut mereka Ita sepertinya sedang menunggu. ”Tingkah lakunya dan perhatiannya sama lo itu, lo liat dong! Dia juga cantik lagi. Dia itu suka sama lo. Lo mau tunggu apa lagi Wan?” Kata Prasetyo temannya. ”Malah kalo lo gak masuk kuliah Wan... dia kelihatannya kecewa banget, gak semanget” Tambah Dani.
Akhirnya Iwan berfikir ingin mengungkapkan isi hatinya pada Ita, namun moment dan kesempatan selalu tidak mendukung. Hingga pada satu ketika Iwan sedang berada dalam kamarnya, melamun menahan perasaan hati dan fikirannya yang selalu tertuju pada sosok perempuan berbaju ping itu. Ia mencoba memberanikan diri mengungkapkan perasaannya, dengan mengirimnya sms ”Ta knp ya? Skrang2 ni gw ingt trs ma lo, da pa ya? Lo gak pa2-kn?”. Namun ternyata maksud yang tersembunyi pada kata-kata tersebut tidak dimengerti Ita, atau mungkin Ita memang tidak punya perasaan yang sama seperti Iwan. Ita malah membalasnya dengan kalimat yang sebenarnya tidak diharapkan Iwan. Hal ini membuat Iwan kecewa.
Balasan sms yang di terima membuatnya frustasi dan kecewa berat. Namun untuk tipe laki-laki seperti Iwan yang jarang banget kenal cewe’ dan tidak mudah untuk melupakan sosok perempuan yang dia kagumi, berfikir lain. Dia mencoba mengobati dirinya sendiri, dia mencoba menjernihkan fikiran dan perasaannya, dia berfikir bahwa, Ita hanyalah sebagai teman, teman biasa tidak lebih dari sekedar itu, perhatiannya, tingkah lakunya selama ini hanyalah wujud perasaan sebagai teman biasa. ”Bahwa yang selama ini aku rasakan, yang selama aku nilai dari tingkah lakunya kepadaku ini ternyata salah. Aku mungkin terlalu pd (percaya diri) atau ke gr-an kali....ah. Ita itu adalah teman...sekedar teman....sekedar sahabat....sama seperti Mia atau yang lainnya...” Bisik Iwan pada hatinya. Hal ini ia patri dengan kuat dalam hatinya.
Setiap kali kuliah, Iwan, Mia dan Ita selalu bertemu, ngobrol, jalan-jalan, makan di kantin, belajar di kelas, pulang bareng, dan sekedar duduk-duduk di luar kelas bersama-sama. Semuanya dia lalui dengan biasa-biasa saja, seperti tidak ada dan tidak pernah ada perasaan yang pernah membuatnya tidak nyenyak tidur dan perasaan yang pernah mengusik hatinya dan kehidupannya. Semuanya telah ia buang jauh-jauh, walaupun tidak sepenuhnya dia mampu menghapusnya. Kadang juga masih terlihat tingkah dan perhatian Ita yang masih seperti memberikan peluang untuk membukakan pintu hati cintanya untuk Iwan.
”Nampaknya tidak semua yang kita rasakan dalam hati harus kita ungkapkan, dan tidak setiap yang kita lihat dan kita terima juga bisa kita nilai sebagai wujud perasaannya yang sama seperti yang kita rasakan. Biarlah hati ini, perasaan ini dan cinta serta sayang-




ini aku ungkapkan dan wujudkan hanya sebagai ungkapan seorang sahabat. Cinta pada seorang sahabat, tidak akan pudar dan akan tetap menjadi kenangan yang manis, tetapi wujud ungkapan cinta dan sayang seorang kekasih bisa saja hancur dan rusak”, inilah suara hati Iwan yang selalu terucap, ketika ia bersama Ita, atau terlintas fikiran aneh tentangnya.
”Hati dan cinta ini hanya untuk dia, bukannya untuk Ita. Dan mungkin hati dan citanya Ita juga untuknya bukan untukku”.
Biarlah Iwan memupus cintanya sendiri, tanpa mengetahui bahwa apakah Ita juga mencintainya atau tidak. Dan biarlah semuanya berjalan apa adanya seperti air yang mengalir, kemanapun mengalirnya, siapapun yang melihat dan menyentuhnya, dan bagaimanapun digunakannya, dia tetap menganggap semuanya sama, tidak pernah berubah.
Apakah Iwan telah salah membunuh perasaannya pada Ita. Atau Ita telah salah berbohong pada hatinya sendiri bahwa sebetulnya dia juga mempunyai perasaan hati yang sama pada Iwan, dan ia masih menunggu Iwan untuk mengucapkannya?

- - - - - - - - - -
Kala itu, dalam kesendiriannya dia termenung, lalu dia menuliskan ungkapan perasaannya saat itu dalam sebuah puisi :

Anganku atas Inginku

K
etika ku hanyut dalam keberadaanku
Coba ku cari pegangan yang menopangku
Tak ada tiang tuk bersandar
Semua tiang lapuk, lusuh dan rusak mungkin?
Lautku sedang pasang dan badai
Hingga hancur keindahan di pantaiku

Saat itu anganku tertuju
Bahwa ada satu yang tak hancur
yang mungkin bisa hidupkan semua kembali
Basahi tanahku yang hampir kering
Membantuku tuk berdiri, bangkit dan berjalan mungkin kadang berlari

....?
Kau sirami aku dengan senyummu
Matamu memancarkan semangat hidupku
Suaramu nasehat bagi pulihnya tenagaku
Kepalan tanganmu membuatku semakin ingin hidup

Aku sadari ini semua,
Walau kadang ada bisikan yang meluluhkannya
Tapi tetap saja aku semakin yakin....
Dan membuatku semakin jauh memujimu

Namun apakah dia tau ini?
Atau cukup hanya untukku saja?

Senin, 22 September 2008

Sahabat

Sahabat?

Sudah menjadi fitrah, manusia sebagai makhluk sosial. Bergaul dan bermasyarakat merupakan bagian dari kebutuhan super primer manusia. Tentunya tanpa adanya hubungan dengan oranglain seorang manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun Tarzan hidup sendiri di hutan, namun setidaknya dia pernah dilahirkan oleh seorang ibu yang pasti pernah melakukan suatu interaksi/hubungan. Terlebih lagi kita, yang setiap hari, setiap saat melakukan unteraksi dengan orang lain.

Dalam berhubungan dengan orang lain tentunya kita mengenal istilah teman/sahabat. Setiap orang pasti punya sahabat/teman, baik itu anak-anak ataupun dewasa.

Semua bisa berawal dari sahabat. Sahabat bisa jadi apa saja. Bisa menjadi orang yang sangat dekat seperti suami atau istri, bisa menjadi rekan sepeti Batman dan Robin, bisa menjadi pacar seperti Rama dan Sinta atau Minke dan Annelis, bisa juga menjadi musuh seperti Kobil dan Habil atau seperti Brahmana dan Rahwana.

Sahabat yang baik adalah yang selalu berada di samping ketika dalam kejayaan ataupun dalam keterpurukan.
Sahabat adalah dia yang selalu menghampiri ketika seluruh dunia menjauh, karena persahabatan itu seperti tangan dengan mata. Saat tangan terluka, mata menangis. Saat mata menangis, tangan menghapusnya.

Siapapun bisa menjadi sahabat. Persahabatan tidak membedakan golongan, ras, gender, tingkatan, atau kelas. Mencari sahabat hampir sama dengan mencari ilmu. Ilmu apapun boleh kita tahu, sekalipun ilmu menipu atau mencopet, misalkan, karena dengan ilmu itu bisa terhindar dari penipuan atau pencopetan. Begitu juga mencari teman, siapapun bisa menjadi teman, sekalipun tukang copet atau tukang tipu misalkan. Yang terpenting bagaimana kita bisa memilih mana yang baik dan yang tidak. “Dimanapun bumi di jungjung disana kita mengabdi”, artinya diamanapun kita berada, dengan siapapun kita berteman, maka kita harus bisa memberikan manfaat terhadapat lingkungan dan teman-teman sekitar, “sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi manusia”.

“Berada di dekat tukang ikan, maka akan terbawa bau ikan, berada di dekat tukang parfum, maka akan terbawa wangi parfum”. Perlu kiranya memilih teman, apabila memang ada ketakutan terhadap terjerumus atau terkontaminasi dengan teman yang berkelakuan kurang baik. Tapi sekali lagi yang terpenting, harus mempunyai komitmen terhadap keinginan dan kesungguhan untuk selalu berbuat baik, selalu mau belajar, selalu mau memberi, dan selalu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Jangan tanyakan berapa banyak yang sudah dia berikan dan apa yang sudah dia kerjakan, tapi coba tanyakan apa dan berapa banyak yang sudah anda lakukan atau berikan. Karena bagaimanapun persahabatan tidak dapat diukur dengan apa yang sudah diberikan saja, tapi juga ketulusan dan keiklasan dalam bersahabat. Begitu juga ketulusan, tidak dapat menilai seseorang dari tingkah-laku atau perbuatannya dengan ukuran ketulusannya. Namun yang terpenting adalah selalu berbuat dengan ikhlas dan berperasangka dengan baik. Bersahabat bukan hitungan kuantitatif tapi kualitatif juga.

Tidak dapat terbayangkan jika hidup tanpa sahabat. Kemana-mana hanya sendiri tidak ada teman ngobrol atau buat pegangan tangan. Kalau nyasar, nyasar sendirian, kalau malu ya malu sendiri, kalau takut juga takut sendirian.. Ketika ada masalah hanya bisa dipendam sendirian yang ujung-ujungnya kalau tidak kuat bisa jerawatan atau jatuh sakit. Kalau lagi tajir juga gak ada teman berbagai. Sepi rasanya dunia ini. Dunia serasa milik sendiri alias sendirian, dan yang lain...tidak ada, tidak ada satu rangpun Iiii tatut.